Lebih pagi dari matahari
terbit
Lebih awal dari ayam berkokok
Bahkan langit belum juga biru
Diriku telah dibangunkan oleh rasa haus akan sebuah petualangan
Lampu jalan yang terang menemaniku menerobos jalan tol yang sepi, Selasa 15
Maret 2016. Pukul 5 pagi, gesekan roda koper dan langkah kakiku, teman-teman
sudah menunggu dibalik security check ini.
Pecah seluruh keheningan oleh semangat kita yang tak tertahankan. 2 jam sebelum
boarding, bayangkan itu, aku rasa ini yang paling pagi aku berada di bandara. Kami
sempat bertegur sapa dengan saudara kami, Bali Heartland, dikarenakan perbedaan
pesawat selama 30 menit, sebelum mereka masuk ke dalam ruang tunggu.
1.5 jam kemudian dan mendaratlah kami semua di pulau dewata. Ornamen di
sepanjang jalan, melambaikan selamat datang. Lalu terdenger jelas pepatah yang
mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Lantas, kami pun diajak untuk mengenal
lebih dekat budaya Bali.
Menganyam, pekerjaan yang dijadikan profesi bagi sebagian orang Bali, kerajinan tangan berbahan bambu dan lontar. Sepintas kegiatan ini terlihat mudah, begitu mencobanya.. kita seakan berada dalam dunia lain. Sayangnya kami tidak mendapat bimbingan yang cukup dari ibu dan bapak yang mengajar, lantas banyak siswa yang kesusahan untuk menyelesaikan anyaman mereka. Disinilah kita belajar, bahwa tidak semua hal akan diberikan secara cuma-cuma, sering kali kita harus berusaha untuk mendapatkannya, dan aku rasa.. itulah yang mereka sebut ilmu.
Cak! cak..cak..cak..
Belum lengkap budaya
Bali kalau tidak ada yang namanya Tari Kecak.
Cak, yang berarti titik,
kalau digabungkan akan membentuk suara yang ramai. Itulah Bali, sebuah pulau
yang tak hentinya menarik perhatian. Terciptalah Tari Kecak, sebuah hiburan
untuk dinikamti oleh semua orang.
Pagi ini mentari
menyambut kami tuk bangun dan menyaksikan Bali’s nature. Pemberhentian pertama
kami, di jalan yang menanjak ke atas dengan pemandangan gunung, sedikit melihat
ke bawah dan sawah pun membentang. Pagi ini kami dipertemukan dengan air, tapi
bukan di pantai, melainkan dengan jeram dan sebuah free fall setinggi 4 meter.
Telaga Waja River, 16 km, 2.5 jam, dengan level kesulitan 3-4, kami semua
berhasil menyelesaikan rafting.
Puas menyantap makanan
yang lezat, kami melanjutkan petualangan melihat hamparan sawah di Ubud. Dengan
baju oren-oren, helm, dan sebuah botol minuman isotonik.. Sepedaan? Siapa
takut! Harus di akui, bersepeda di Ubud bukanlah sesuatu yang mudah, karena
kita harus melewati jalan di pinggir sawah yang sempit, belum lagi kalau ada
motor yang lewat, dan jalannya pun terkadang naik terkadang turun, tidak mulus
pula. Namun kata mereka, inilah hidup.. terkadang kita diatas terkadang kita
dibawah, dan walaupun jalan yang kita lalui tampak berbatu, akan selalu ada
pemandangan indah tuk dinikmati.
Hari ke 3, diawali lebih
pagi dari biasanya. Bahkan matahari belum menampakkan dirinya, dan kami sudah
menginjakkan kaki keluar hotel. Kali ini kami diajak mandi dari sebuah mata air
yang tak henti-hentinya menunjukkan kebaikan yang kuasa, Tirta Empul. Namun
sebelumnya kami diminta untuk memakai sarung putih dan sebuah pita oranye. Lalu
kami diperlihatkan peninggalan yang masih tersisa di Bali. selanjutnya kami perlu
berjalan kaki terlebih dahulu. Baru sampailah kami di pemandian.
30 pancuran air,
membentang timur ke barat menghadap ke selatan, mata seakan dimanjakan oleh
ketenangan yang dipancarkan air suci dari pura ini. Itulah Tirta Empul. Ritual
mengucap doa, mencuci mulut, menelan air, dan membasuhi muka, digunakan
masyarakat sebagai kegiatan pembersihan diri dari segala pikiran, ucapan, dan
perbuatan yang kotor.
Selepas menyegarkan
diri.. kami berjalan kaki untuk melakukan sedikit relaksasi. Mengangkat tangan,
membungkukkan badan, menyentuh kaki, dan duduk bersila. Hembusan angin diiringi
kicauan burung. Dibalik matahari yang mulai meninggi, kami menemukan ketenangan
dalam keributan fisik yang lelah.
Hari belum selesai,
selepas bermeditasi kami diberikan keseempatan tuk melepaskan semua kepenatan
dari MID semester dengan anak-anak yang belum mengenal dunia gadget. Kami
bertamu ke desa wisata Tegangan, dimana hal yang paling menarik adalah saat
kami mengukir tulisan diatas lontar dan menjadikannya seesuatu yang indah.
Segelas es buah, dan dua
buah kue. Sejarah politik Tegangan pun di kemas menjadi sesuatu yang menarik
sampai-sampai kami tak henti bertanya. Dibalik pintu bergagang ekor hewan pun,
Desa Tegangan menyiman senyuman indah yang selalu siap menyambut siapapun yang
datang bermain.
Aku dan teman-teman
menghabiskan waktu menyaksikan bahkan mencoba bermain gamelan. Kami juga diberi
kesempatan untuk mewawancarai pengrajin tenun disana. Salah seorang temanku
sampai mencoba duduk dalam posisi orang menenun. Sungguh pembelajaran yang
asyik.
Selepas itu kami diajak
berkumpul bersama anak-anak dari desa Tegangan, tanpa ragu mereka langsung
menggenggam tangan ini dan membawa kita kembali ke masa kecil penuh kenangan.
Segala macam permainan masa kecil, dengan peraturan yang serba tidak jelas,
satu-per-satu semua dinikmati kembali. Sore itu dapat kami rasakan tanah yang
selama ini kami injak, dan betapa berharganya sebuah satuan waktu. Karna,
apalah makna sebuah kehidupan dibalik layar handphone dan laptop, jika pada
akhirnya kita tak dapat tertawa, kembali menyatu dengan alam?
Santap malam oleh desa
Tegangan, rasanya sulit tuk dilupakan begitu saja. Penyajian di sebuah nampan
besar, kami yang berkumpul dalam kelompok kecil beranggotakan 6 kepala, dan
tangan yang selama ini memegang sendok dan garpu akhirnya kembali menyentuh
nasi. Mereka membuat sebuah acara makan malam menjadi perkumpulan yang begitu
hangat, mungkin dikarenakan makanannya yang lezat.
Hari itu kami belajar,
bahwa dengan sebuah sarung dan kebersamaan diantara sesama, kita dapat
menciptakan sesuatu yang lebih indah dari apa yang selama ini selalu dalam
genggaman tangan.
1 hal yang belum puas
juga kami nikmati, kegitan subak atau lebih dikenal sebagai sebuah sistem
irigasi. Sebelum kami memulai kegiatan yang berujung menjadi sebuah
belajar-mengajar, kami disuguhkan semangkok bubur dengan gula merah dan air
dari kendi. Pada petualangan kami mengelilingi undakan sawah ini, kami
diajarkan cara menangkap belut, menanam padi, membajak sawah, membuat pupuk,
sampai diperkenalkan kopi tradisional.
Namun yang lebih
berkesan adalah pemandangan dimana sejauh mata memandang, hamparan padilah yang
nampak. Bentangan yang menemani kami naik sampai kepuncak, dan undakan yang
lebih indah lagi menemani kami sambil menikmati makan siang diatas bukit.
Sayangnya hujan ingin
bermain bersama kami di Treetop, alhasil kami harus mengenakan jas hujan
sebelum menguji kebolehan di line hitam dan merah. Namun matahari segera keluar
dari persembunyiannya dan menyambut kami semua di Bali. dan pada penghujung
hari, selama kita masih bisa bersenang-senang.. tidak peduli mau hujan badai
ataupun dijemur dibawah teriknya matahari. TREETOP TETAP JALAN!
Embun diatas daun, kabut
diatas air, dingin menembus jaket yang kami kenakan, tapi tak apa.. hati kami
membara, siap tuk mendayung. Pagi hari ini tidak diawali dengan sarapan seperti
hari lainnya, melaikan kami harus mendayung menyebrang danau terlebih dahulu
baru bisa menyantap makan pagi kami. Tapi tak apa, pemandangannya cukup untuk
membayar keringat dan rasa lapar.
Pagi hari tangan sudah
dibuat lemas, siang hari kaki yang dibuat lelah. kami diantar, melihat dua buah
danau yang sangat indah jika dilihat dari atas. Tapi tujuan kami bukanlah untuk
berfoto bersama. Kami dibawa turun ke area danau, memutari danau, naik ke atas
dan keluar dari area danau. Terdengar sia-sia usaha kita, namun sejuknya angin
dalam hutan mengalahkan matahari yang bersinar.
Minggu palma, tidak lupa
kami ke gereja :D
Dari gereja kami
mmengunjungi desa wisata, melihat pernak-pernik lucu, mencicipi minuman herbal.
Sore hari, kami
menceburkan sesama dan juga bermain sepak bola.
Karna sebenarnya hari
ini sengaja dibuat lebih santai, tuk mempersiapkan diri kita di keesokkan
harinya.
Pukul 2 alarm bergetar,
selimut mengundang ku tuk tetap tidur, namun tumpukan jaket sudah menunggu tuk
dikenakan. Pagi ini kita kan mendaki, targetnya? Puncak Gunung Batur.
walau jalan tidak bersahabat, namun seluruh langit mendukung kami semua tuk
terus bergerak, dan dengan bintang yang terus menemani, kaki tak berani
berhenti. Fajar mulai menyapa, membuka jalan bagi kami, menyentuh puncak
tertinggi Gunung Batur. Mataharipun seakan menunggu kami semua sampai di
puncak. Saat itulah, saat kami berdiri 1.717 meter diatas permukaan laut. Hanya
1 motivasi kami, bukan untuk melihat matahari terbit, melainkan tuk menaklukkan
diri ini.
Suara ombak dan butiran pasir,
ini lah yang dikejar setiap orang yang berpergian ke pulau dewata. Disini kami
dipertemukan kembali dengan kelompok Bali Heartland. Angin yang berhembus
kencang menaikkan layangan yang telah kami buat, dan sekejap langit biru itu
dihiasi oleh warna-warna berbentuk naga. Namun tetap saja, sedikit cipratan air
tetap membekas sampai ke hotel. Aku rasa kau tidak dapat pergi ke Bali tanpa
menyentuh air bukan?
Setiap pertemuan pasti
ada perpisahan, dan malam itu kami merayakan kebersamaan selama 7 hari yang
telah berlalu, dan 1 hari terakhir yang tidak akan ditinggalkan. gemuruh ombak
di malam hari, ditambah suara pesawat yang mendarat. Rasanya ini tempat yang
indah untuk mengucapkan salam, biarpun begitu para ‘bli’ berhasil memutar semua
itu menjadi sesuatu yang keren. Hidangan seafood khas Jimbaran beserta kelapa
muda di depan mata, merupakan pelengkap yang pas untuk malam yang istimewa ini.
Dan kapanpun itu, kita cukup memandang ke atas.. para bintang kan menemani.
Sebelum melangkah ke
bandara, kami mengunjungi 1 pantai lagi sebelum kembali mendengar suara
kendaraan yang memadati jalan raya. Teriknya matahari tak bisa menghalangi kita
tuk mendapat foto-foto cantik berlatar pantai berpasir putih. Jika kau diam,
dapat terdengar gerakan angin yang gemulai. Biarlah ombak memecah batu karang,
aku akan duduk menikmati lagu yang dibawakan angin yang membuat pasir pantai
menari.
Begitulah alam, hanya
sebagian orang yang dapat merasakan keindahannya. dan dari Edutrip tahun ini…
biarlah buku refleksi yang mendengar keluh-kesahku.
Salam,
Bali Nature-Adventure
Comments
Post a Comment